Senin, 16 Maret 2009

Elegi Menyenangkan Seorang Miskin


Elegi Menyenangkan Seorang Miskin
Oleh: Mira Dia Lazuba

Pagi-pagi Gambir telah begitu menyesakkan. Aku berdiri pongah di atas sepatu pantofel merah marun milik Kardi, tetangga kontrakanku. Dia bekerja sebagai sales pakaian dalam wanita. Lagakku boleh, tampangku isyarat, dan tegakku kukuh. Beberapa wanita bermata binal menatapku penuh nafsu. Hah! Silakan tatap aku dengan begitu tak jemu, asal kau tahu saja aku hanyalah budak lapar tak berpenghasilan.


Hidup dalam rantauan yang menyakitkan. Asal kau tahu saja, tak ada mata binal menatapku dengan nafsu. Rokok sisa yang kupungut di jalan kuhisap kuat. Yah beginilah hidup di Jakarta, penampilan adalah segalanya. Kau boleh saja berdasi, tapi dompetmu tak pernah terisi.

Kau boleh saja merokok, tapi saat istrimu minta makan kau hanya bisa berkokok, berkata sabar sampai berbusa-busa, hingga tuli istrimu dibuai kata-kata sabar tiap tak ada sesuap pun masuk ke perutnya.

Aku, dengan jas kumal milik kakek leluhurku yang hanya itu saja pakaianku, duduk dalam lamunan di bangku-bangku panjang stasiun. Kulihat diriku dalam lelah, merana, dan menanti hidup yang tak lama ini. Tak ada lagi rokok, kugenggam saja puntungnya. Menatap manusia-manusia yang berlalu lalang tanpa henti.

Aku mengoceh di telepon seakan mereka tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan, padahal hanya penipu-penipu, tak bisa dipercaya. Alah! Namanya juga usaha, penipu juga butuh makan. Mereka manusia biasa, cuma jahat saja pikirannya. Makan haram tak apa, asal perutnya dan keluarga ada isinya.

Melongok sebentar, melihat anak kecil kotor mengaduk-aduk sampah, penuh harap dalam matanya. Sepotong roti sisa pun tak apa asal perut terganjal, walau roti itu telah tercampur dengan muntahan bayi yang kekenyangan susu dari ibunya pun tak apa, asal bisa dimakan. Itu saja harapannya, begitu sederhana.

Aku tak percaya, sungguh tak percaya, aku mensyukuri keadaanku yang miskinnya keterlaluan ini. Bukanlah aku yang tak ingin berusaha untuk tidak bekerja. Aku bukan pemuda malas yang tak tahu diri. Hanya bisa jadi sampah masyarakat. Tapi, orang bodoh mana yang mau mempekerjakan aku?

Aku hanya laki�-laki bisu yang berlalu lalang di stasiun untuk mencari orang yang mau menjadikanku kuli. Mengangkat barang-barang mereka menuju taksi-taksi yang menunggu dengan argo berlari secepat kuda. Itulah aku. Aku dalam kebisuanku. Merana, hidup dalam peranaan panjang yang tak memiliki tepi. Aku jauh lebih iri pada bakteri. Ha ha ha....

Stasiun tak seramai Sabtu dan Minggu. Stasiun lenggang saja dalam damai. Petugas stasiun berseragam begitu gagah, mengucapkan selamat datang dan selamat tinggal, mengingatkan untuk berhati-hati dan memeriksa barang bawaan kembali. Sungguh pegawai itu tak pemah mempertimbangkan nasibku, mempertimbangkan ingin dan harapku.

Aku hanya ingin barang mereka tertinggal atau terjatuh, maka itu rezeki untukku. Ha ha ha... apalagi yang bisa kuharapkan selain itu, toh aku juga butuh makan. Sama dengan si penipu dan anak gelandangan kotor pengaduk sampah. Kami jelek, kumuh, miskin, tetap saja butuh makan.

Aku melihat menerobos jendela kereta. Banyak orang yang duduk, berdiri, berlalu lalang, atau memandang jenuh ke luar. Memandangku yang terlalu aneh dalam penampilan. Aku suka memikirkan apa yang mereka pikirkan. Aku kadang sibuk menebak dan sejurus kemudian aku terjebak pada rumitnya kehidupan orang lain.

Seorang wanita menatap pintu masuk stasiun dengan cemas, lalu aku menebak dia sedang menanti seseorang. Kuciptakan seseorang yang dinantikannya dalam imajinasiku. Dia menunggu teman yang ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting padanya sebelum dia pergi.

Lalu teman yang ditunggunya itu datang dan mencari-carinya, mengaduk seluruh isi kereta mencari wanita itu, dan saat dia telah bertemu, sang teman hanya mengatakan, "Maaf sebelum kau benar-benar pergi, aku cuma mau mengatakan, aku akan menikah dengan pacarmu!" Ha ha ha... Aku tertawa sendiri, membayangkan lamunan gilaku, imajinasi nakalku.

Kuciptakan semuanya di dalam sini, di dalam otakku. Kereta itu telah pergi tapi orang yang dinanti tak kunjung datang. Wanita itu pun terlihat sedih. Dia hanya menundukkan wajahnya seiring kereta berjalan meninggalkan stasiun. Meninggalkan siapa pun yang dinanti.

''Tadi kereta ke arah mana ya, Mas?" tanya seseorang tiba-tiba padaku, aku melirik jamku, mengambil kertas dari sakuku dan menuliskan 'Jogja' di atasnya. Lelaki itu kini tampak gugup, dia terduduk saja di sebelahku. Aku menatapnya, tiba�-tiba teringat wanita tadi. Kutuliskan sesuatu di atas kertas itu, sebuah pertanyaan, "mencari siapa?" Dia membacanya, lalu menatapku lagi.

"Mencari pacar saya, seharusnya kami pergi bersama ke Jogja untuk kawin lari, tapi saya tidak bisa melakukannya karena saya sudah dijodohkan seseorang dan orang itu adalah sahabatnya," lelaki itu tertunduk sedih. Aku tersenyum getir. Mungkin dia mencari wanita tadi. Kebetulan yang aneh, Tuhan membaca pikiranku lalu mencomotnya dan menjadikannya kenyataan, sungguh tidak kreatif. Kadang orang miskin bisa juga kurang ajar.

Ah... inilah sebuah elegi. Ada yang datang ada pergi. Hidup teryata begitu rumit, setiap insan memiliki cerita sendiri-sendiri. Aku menjadi semakin bijak saja, mencoba menertawakan diri. Jika kau ingin mengerti hidup, jadilah aku, suka mengamati, suka berimajinasi, dan menguli di stasiun. Sebab, di stasiun kau akan menemukan elegi. Aku tertawa pongah di atas elegi hidup orang lain. Di atas elegi hidupku sendiri yang hancur berantakan. Elegi, apa itu? (*)

Penulis adalah pelajar Unair
Share:

0 komentar:

welcome to aprasetailmu.blogspot.com, anime&pendidikan,by:harlivia.blogspot.com,aboutweare.blogspot.com, kursilmu.wordpress.com, anime&pendidikan by apraseta

Ad


This Blog is protected by DMCA.com